MAJALENGKA - Tanggal 01 April 2022, Pemerintah telah resmi menetapkan kenaikan harga BBM Non Subsidi jenis Pertamax yang semula Rp. 9.000, - per liter kini menjadi Rp. 12.500, - per liter dengan kenaikan Rp. 3.500, -. Berkaca pada kondisi ekonomi masyarakat saat ini, pasca dilanda Covid – 19 yang berkepanjangan menyebabkan krisis ekonomi. Ditengah masyarakat membutuhkan Pemerintah Indonesia saat ini, masyarakat dihadapkan dengan formula kenaikan harga BBM Pertamax ditengah kelangkaan Pertalite serta penghilangan Premium. Ini tentunya tidak sesuai dengan wacana Pemerintah mengajak masyarakat untuk memulihkan ekonomi, seperti mencekik dikala susah kenaikan BBM jenis Pertamax dan kelangkaan Pertalite serta Penghilangan Premium sangat disayangkan oleh HMI Cabang Majalengka. Pemerintah mempertontonkan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan Pemerintah untuk hadir ditengah masyarakat Indonesia.
Kenaikan harga Pertamax, kelangkaan Pertalite dan penghilangan Premium dapat berimbas pada seluruh sektor. Maka dari itu HMI Cabang Majalengka meminta agar Pemerintah mengembalikan UU No 8 Tahun 1971. HMI Cabang Majalengka melihat bahwa ini impact dari IPO nya Pertamina sehingga PSO tidak dapat lagi ditopang karena Subholding Pertamina wajib Untung. Pemerintah wajib memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini belum stabil. HMI Cabang Majalengka berharap Pemerintah dapat memperhatikan aspek – aspek kebutuhan masyarakat dalam rangka mensejahterakan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Baca juga:
Zainal Bintang: Menyoal Etik Bernegara
|
Kenaikan harga BBM jenis Pertamax menimbulkan beberapa dampak, diantaranya :
Membuat kelas menengah yang biasa menggunakan Pertamax akan beralih ke Pertalite. Dan peralihan pemakaian tersebut bisa mengakibatkan kelangkaan pasokan Pertalite. Konsumsi rumah tangga akan tergerus oleh Pertamax sehingga mengurangi pembelian barang lainnya.
Selain penetapan kenaikan Harga BBM Jenis Pertamax, pada tanggal 1 April 2022 juga ditetapkan Kenaikan PPN 11% yang semula 10%. Ketika PPN meningkat maka harga barang akan menjadi naik dan hal ini membuat masyarakat akan menahan belanja. Terlebih, kenaikan PPN ini masuk pada bulan Ramadhan. Ada potensi kinerja emiten tertekan dalam jangka pendek hingga menengah apabila memang pajak pertambahan nilai ini sudah resmi diterapkan. Beberapa sektor yang akan terdampak kenaikan PPN ini seperti consumer goods dan ritel. Produk – produk utama yang diproduksi serta dijual kedua sektor ini meupakan barang yang menjadi sektor objek PPN. Kenaikan PPN akan menaikkan harga beras dan sembako lain. Salam jangka waktu lebih panjang kenaikan harga sembako akan mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pangan juga menjadi pengeluaran terbesar bagi keluarga berpenghasilan rendah yakni lebih dari 50%. Oleh sebab itu, kenaikan PPN jika diterapkan pada produk sembako akan memberatkan masyarakat. Dampak kenaikan tarif PPN terhadap harga beras dan sembako pada umumnya akan makin terasa karena harga tersebut bakal dibebankan pengusaha kena pajak (PKP) kepada konsumen.
Selain dari dua permasalahan diatas, ada satu keresahan kembali jika melihat kanal-kanal berita di koran ataupun di media digital sangat banyak berita-berita penundaan pemilihan umum yang akan diselenggarakan di tahun 2024 mendatang, momen pemilu selalu ditunggu-tunggu oleh publik, karena momen tersebut adalah momen terbesar bagi stekholder terbesar negara ini yaitu masyarakat. Namun, ketidak pastian menyambut pesta rakyat tersebut datang ketika berita-berita penundaan pemilu 2024 ini mulai ada.
Pada dasarnya jika kita melihat prinsip negara kita sebagai negara demokrasi seharusnya bangsa ini menjaga nilai-nilai demokrasi tersebut, termasuk pemilu karena memang sudah menjadi budaya bahwa momen pemilu tersebut adalah ajang pesta rakyat, siapapun dapat menggunakan hak memilihnya dalam menentukan pemimpin negara untuk selama 4 tahun ke depan dalam artian pemimpin tersebutlah yang menjadi ujung tombak nasib bangsanya.
Banyak yang memberikan alasan penundaan pemilu ini terhadap pertumbuhan ekonomi dan alasan pandemi. Untuk alasan pandemi, sebesar 70, 7 persen responden menilai Presiden Jokowi tetap harus mengakhiri masa jabatan pada 2024 meski pandemi belum berakhir. Begitu pula ketika dihadapkan pada alasan pemulihan ekonomi. Sebesar 68, 1 persen responden menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Tidak jauh berbeda saat responden dihadapkan pada alasan pembangunan ibu kota negara baru. Sebanyak 69, 6 persen responden menolak ide perpanjangan masa jabatan. Survei digelar pada 25 Februari hingga 1 Maret 2022. Metodologi yang digunakan ialah random sampling dengan toleransi kesalahan lebih kurang 2, 89 persen pada tingkat kepercayaan mencapai 95 persen. Hasil survei juga menunjukkan setidaknya 64, 1 persen responden menginginkan agar pemilu tetap digelar pada 2024 meski dalam kondisi pandemi dibandingkan harus ditunda. Pendapat ini bahkan lebih kuat pada mereka yang mengetahui soal usulan penundaan pemilu (sebanyak 67, 7 persen).
Terlepas dari itu semua setiap perencanaan harus melihat terhadap dampak yang nantinya akan terjadi, adapun nantinya dampak dari penundaan pemilu akan mengurangi nilai-nilai demokrasi bahkan terkesan mengutak-atik demokrasi Negara ini, tambah lagi jajaran penyelenggara tidak akan fokus dalam persiapannya karena ketidak pastian ini, penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden, membuat bangsa Indonesia kembali pada tahun 1945 hingga 1960-an di mana eksekutif menjadi pusat kekuasaan, Dominasi eksekutif ini akan mengakibatkan legislatif dan yudikatif disfungsi dan ketergantungan pada eksekutif dan tirani mayoritas di mana pemegang kekuasaan mengabaikan kelompok minoritas yang ditandai oleh adanya sentralisasi kekuasaan dan pengabaian rasionalitas, penundaan pemilu bakal memunculkan dilema lembaga yang berwenang menetapkan dan mengesahkan perpanjangan masa jabatan presiden. Hal ini karena semua lembaga negara yang dipilih melalui pemilu, sudah berakhir masa jabatannya pada 2024 sehingga terjadi kekosongan pemerintahan, Terakhir, penundaan pemilu bisa menimbulkan delegitimasi pemerintah, instabilitas, hingga potensi konflik di masyarakat.
Maka dari itu, HMI Cabang Majalengka menuntut :
- Menolak kenaikan harga BBM Subsidi dengan mendesak agar Pemerintah menjamin pasokan BBM jenis Pertalite agar tidak terjadi kelangkaan.
- Menolak kenaikan PPN menjadi 11%
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
- Menolak 3 Periode Presiden Joko Widodo
Tuntutan dari HMI Cabang Majalengka ini disampaikan dalam seruan aksi terbuka di Tugu Juang Kabupaten Majalengka yang tepat di depan gedung DPRD Kabupaten Majalengka. Aksi terbuka ini telah terlaksana dengan baik pada Kamis, 07 April 2022 pada pukul 15.00 WIB.
HMI Komisariat STAI PUI Majalengka yang dipimpin oleh Hindayani adalah salah satu komisariat yang ikut serta turun aksi dan membantu HMI Cabang Majalengka, selain STAI PUI Majalengka juga terdapat komisariat-komisariat lain dari seluruh wilayah Majalengka yang bersatu bersama HMI Cabang Majalengka, demikian tuturan dari Fi'i Syafi'i salah satu anggota HMI dari Komisariat STAI PUI Majalengka yang sempat di wawancarai oleh tim jurnalis Indonesia satu. (Fajar***)